Jakarta, Pelita
Makna Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 di era reformasi ini terasa kian memudar. Padahal Sumpah Pemuda itu merupakan komitmen bangsa Indonesia yang sangat penting nilainya dalam perjuangan bangsa Indonesia. Karena itu Sumpah Pemuda jangan dibuat main-main.
Demikian pendapat beberapa elemen bangsa Indonesia, seperti Dedi Gumelar, Sekretaris ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) Sumatera Barat Najmuddin, Ketua PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Shoim Misbach Haris, dan Ketua Umum Pemuda Reformasi Indonesia (PRI) Bursah Zarnubi yang dihubungi Pelita, secara terpisah, Minggu (27/10).
Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 merupakan komitmen bangsa Indonesia yang jangan dibuat main-main. Karena dengan adanya Sumpah Pemuda itulah bangsa Indonesia tumbuh rasa persatuan dan kesatuan guna melepaskan diri dari belenggu penjajah.
"Itu merupakan komitmen bangsa. Jangan main-main," ucap Dedi Gumelar tegas, ketika dihubungi Pelita via telepon, Minggu (27/10) sore di Jakarta.
Tokoh yang lebih dikenal dengan nama Miing dalam Bagito Grup itu berpendapat, saat digulirkannya reformasi sekarang inilah spirit Sumpah Pemuda seharusnya ditumbuhkembangkan. Dengan demikian rasa kebangsaan, rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia kian kokoh dan kuat. Tapi kenyataan yang ada justru rasa persatuan dan kesatuan bangsa itu diporakporandakan dengan adanya reformasi.
Kita, ucap Dedi Gumelar, jangan bicara masalah ekonomi dan masalah-masalah lain, jika persatuan dan kesatuan bangsa ini tidak terjamin. Karena yang mencuat ke permukaan saat ini adalah keterkotak-kotakan dan lebih menomorsatukan kepentingan kelompok dan golongan.
Dia juga menunjuk para "pemuda" yang sekarang berkuasa yang merupakan generasi penerus bangsa, justru banyak yang melanggar sumpah. Akibatnya dari masalah-masalah yang bersifat mikro berefek ke masalah makro dan berimbas kemana-mana.
Dari situlah, kata Dedi, terlihat bangsa Indonesia tidak pernah belajar sejarah. Padahal bangsa yang besar adalah yang mempelajari sejarah bangsanya.
Berkait dengan masalah itu, Miing berpendapat sudah seharusnya Depdiknas mengubah kurikulum mata pelajaran di sekolah-sekolah, karena tidak mengajarkan bagaimana pentingnya sejarah bangsa bagi para pelajar. Sebab, sejarah dan kebudayaan bangsa itu sangat penting. Dia memberikan contoh negara-negara maju seperti Jepang dan Korea yang sangat menjunjung tinggi budaya dan sejarah bangsanya. Karena sesuatu bangsa tidak terlepas dari akar budaya bangsanya.
"Di sini terlihat jelas, jika seorang anak nilai matematika atau fisikanya jelek pasti orang tuanya marah. Tapi kalau nilai sejarahnya jelek, orang tuanya tidak marah. Ini yang harus diubah," katanya.
Wajib militer
Selain masalah kurikulum sejarah, secara serius, Dedi Gumelar juga menyarankan perlunya wajib militer diterapkan di Indonesia. "Wajib militer bukan berarti memiliterkan sipil," jelasnya. Tapi wajib militer itu demi memupuk jiwa patriotisme bangsa, menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air. Demikian juga Gerakan Pramuka di Indonesia seharusnya dimasukkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah, karena di situ merupakan langkah pembentukan karakter dan rasa kebangsaan bangsa Indonesia. "Spririt kebangsaan itu sangat penting," ujar Miing.
Tokoh pelawak Indonesia itu menyayangkan stasiun-stasiun siaran televisi yang jarang sekali menayangkan videoklip tentang "Satu Nusa Satu Bangsa" atau lagu "Indonesia Raya" dan "Rayuan Pulau Kelapa." Kalaupun ada, penayangan dilakukan pada saat siaran itu belum ditonton oleh generasi muda. "Masyarakat sangat butuh pendekatan melalui hatinya," ujarnya.
Menurut Miing, hal-hal seperti itulah yang seharusnya menjadi pemikiran oleh pemerintah.
Kepada Pelita, Miing juga menyatakan kekecewaannya terhadap kalangan generasi muda Indonesia yang terjun ke LSM-LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang pada praktiknya ada yang "menjual" negara. Untuk itu, dia berpendapat sudah saatnya jumlah LSM dibatasi dan dilakukan audit dari mana keuangan yang mereka terima.
Pegangan generasi muda
Makna Sumpah Pemuda tetap menjadikan pegangan para generasi muda Indonesia untuk mempertahankan Indonesia sebagai bangsa yang satu. Namun makna tersebut seakan-akan telah hilang dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Makna berbangsa yakni satu bangsa Indonesia, telah tidak ada lagi. Kini yang ada hanyalah sifat egoisme para elite politik," kata Sekretaris ICMI Sumatera Barat Najmuddin yang dihubungi Pelita via telepon, kemarin.
Menurut Najmuddin, Sumpah Pemuda akan tetap memiliki relevansi yang sangat besar dalam kondisi bangsa Indonesia saat ini. Tetapi permasalahan yang terjadi saat ini kurang adanya implementasi dari butir-butir Sumpah Pemuda oleh generasi muda maupun pemerintah. Pemuda Indonesia harus mempunyai visi yang jelas kedepan untuk menyiapkan regenerasi bangsa Indonesia yang akan datang. Pemuda harus meningkatkan kualitas mereka, walaupun seluruh bangsa Indonesia merisaukan rendahnya rasa kebangsaan saat ini.
Menanggapi makna Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang cenderung memudar di dalam diri masyarakat Indonesia, khususnya kalangan pemuda dan pemerintah, dosen Universitas Andalas itu menjelaskan, hal itu terjadi akibat dari ketidakmampuan pemerintah untuk menciptakan formula reformasi yang tengah berjalan. Pemerintah dan pemuda harus mempunyai visi politik yang jelas sebagai bangsa yang bersatu dan berdaulat. Mereka jangan bertindak acuh tak acuh terhadap permasalahan yang terjadi pada Indonesia.
Dari sisi sosial dan ekonomi, tambah dia, pemerintahan saat ini tidak mempunyai formula dan rancangan yang jelas untuk 10 tahun ke depan dalam menciptakan masyarakat Indonesia yang sejahtera.
Fenomena saat ini jelas terlihat pemerintah sibuk oleh hal-hal yang membuat sesuatu tidak produktif. Dari sisi politik juga terlihat gambaran politik antagonis, yang selalu mempertahankan ego. Mereka tidak menciptakan suatu kondisi politik negara yang integratif untuk menyatukan bangsa dan menjadikan bangsa Indonesia mempunyai arah dan tujuan yang jelas di masa yang akan datang.
Sementara Ketua HMI Shoim Misbach Haris yang dihubungi terpisah mengatakan refleksi Sumpah Pemuda sering menjadi hal yang klise bagi generasi muda maupun pemerintah saat ini. Esensi Sumpah Pemuda tentang adanya persatuan, keseragaman, maupun proses menyatu telah menjadi suatu perubahan dan menciptakan konflik vertikal dan horisontal antarrakyat Indonesia.
"Makna Sumpah Pemuda seakan menjadi kegiatan ritual yang tidak memiliki arti apa-apa dalam berbangsa. Padahal kesadaran yang digali dalam Sumpah Pemuda itu memiliki kesadaran kesatuan, keragaman atas etnis, agama, warna kulit, bangsa Indonesia yang sangat luas," paparnya.
Menurut dia, disaat penjajahan melawan Belanda telah usai, maka makna tersebut bertujuan untuk pemerataan seluruh rakyat Indonesia atas kesejahteraan mereka.
"Tapi, sering acara seremonial yang diulang setiap tahun menjadi basi. Karena kondisi kehidupan rakyat Indonesia penuh dengan kesenjangan sosial, bahkan rakyat kecil semakin terpinggirkan," jelasnya. Oleh karena itu agar Sumpah Pemuda menjadi bermakna, maka harus ada generasi muda yang baru yang bebas dari masalah-masalah sosial bangsa Indonesia. Selain itu strategi sosial budaya yang berbasis kesejahteraan rakyat. "Bahkan jika perlu dibuat suatu Sumpah Pemuda yang baru oleh generasi baru," tegasnya.
Komitmen pemuda tetap kuat
Komitmen Pemuda Indonesia masa kini tetap terhadap sumpah yang sudah diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928, "Kami Bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia; berbangsa satu bangsa Indonesia; dan ber-Tanah Air satu Tanah Air Indonesia."
"Komitmen kami tetap pada sumpah itu, kendati saat ini bangsa Indonesia nyaris tidak satu kata dan satu visi lagi menghadapi berbagai persoalan bangsa," ujar aktivis Humanika yang kini Ketua Umum Pemuda Reformasi Indonesia (PRI), Bursah Zarnubi kepada Pelita di Jakarta, kemarin.
Dia menegaskan, pemuda sebagai generasi penerus harus diberi ruang yang cukup untuk memberikan kontribusi pemikiran dan tenaga, khususnya dalam memecahkan persoalan yang sedang dihadapi. "Pemuda harus ditempatkan pada posisi strategis untuk membangun bangsa ini ke depan," tegasnya.
Pemuda Indonesia, menurut aktivis HMI ini harus ambil peran, dan bahkan peran itu harus direbut dari generasi di atasnya yang memang sudah tak mampu mengatasi krisis, kemiskinan, ketenaga kerjaan, persatuan dan kesatuan, serta terakhir persoalan yang maha besar, bom dan terorisme.
Pada masa lalu, ujarnya, kemerdekaan fisik negara ini sangat ditentukan peran generasi muda. Setelah kemerdekaan, peran itu dipancung sedikit hingga akhirnya pemuda hanya menjadi underbow kekuatan politik tertentu. Pemuda hanya menjadi pelengkap dan mandul.
Sebagai akibatnya, kekuasaan, ekonomi, politik dan berbagai aspek lainnya hanya dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat, yang kemudian melahirkan gap dan ketiadakadilan antara mayoritas masyarakat tidak mendapatkan apa-apa dari hasil pembangunan. Kondisi itu kemudian mengikis nasionalisme bangsa ini.
"Erosi nasionalisme yang saat ini kita saksikan bukanlah hal yang baru. Tetapi sudah terjadi sejak tahun 80-an, sejak strategi pembangunan nasional diarahkan pada ekonomi pertumbuhan, yang hanya dirasakan oleh sekolompok kecil masyarakat," ujarnya. Puncak dari erosi nasionalisme itu terjadi pada perubahan kepemimpinan nasional, saat tumbangnya orde baru. Berbagai daerah minta merdeka, pertempuran sesama warga terjadi dimana-mana, ekonomi hancur, persatuan dan kesatuan terancam dan akhirnya intervensi asing menjadi dominan dalam kehidupan bangsa dan negara.
Celakanya lagi, ujar putra Betawi ini pemimpin bangsa saat ini tidak belajar dari sejarah masa lalu yang membawa derita bagi rakyat saat ini. Mestinya, asas keadilan ekonomi dalam pembangunan yang merupakan dasar kokohnya nasionalisme itu, harus diterapkan. Begitu juga dalam politik, pemerintah harus menujukkan visi yang kuat dan persepsi yang sama.
"Pemuda belum menyaksikan itu pada pemerintahan saat ini. Tetapi sebaliknya, pemuda melihat adanya ketidakjelasan visi dan persepsi dalam tubuh pemerintahan. Bahkan terjadi 'perang' di dalam kabinet dalam memahami dan menanggapi persoalan bom dan terotisme," tegas Bursah.
Melihat kondisi pemimpin nasional dan kondisi bangsa yang sangat rentan perpecahan serta makin besarnya intervensi asing, komitmen pemuda Indonesia semakin kuat untuk mengimplementasikan Sumpah Pemuda 28 Oktober itu, dengan secara intensif dan terus menerus memberikan kontribusi pemikiran politik, ekonomi dan berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Dalam waktu dua bulan ini kami akan melakukan kosolidasi untuk kemudian mengajak seluruh pemuda Indonesia memadukan tekad, menyatukan visi dan membulatkan perjuangan mewujudkan masa depan Indonesia yang dicita-citakan," ungkap Ketua Umum PRI itu.
Kepada pemerintah, elit politik dan pemimpin bangsa dia berharap bisa menjadi fasilitator dalam setiap rencana besar pemuda Indonesia. Umpamanya memberikan proses kemudahan dalam membuat sebuah pertemuan akbar pemuda untuk menginventarisasi persoalan-persoalan bangsa yang sulit dipecahkan dan kemudian mencarikan solusinya.
"Pemuda Indonesia harus mendobrak situasi bangsa melalui sebuah pertemuan besar, rembug nasional untuk menyiasati krisis yang semakin parah. Selain itu juga mengiventarisasi diimensi-dimensi kepepemimpinan dengan memberikan opsi untuk dapat menyelesaikan intervensi asing. Pertemuan itu juga akan bisa memperkuat kembali rasa keadilan dan nasionalisme dalam konteks kebangsaan," ujarnya.(be/m13/kh)(dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=2869)
Makna Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 di era reformasi ini terasa kian memudar. Padahal Sumpah Pemuda itu merupakan komitmen bangsa Indonesia yang sangat penting nilainya dalam perjuangan bangsa Indonesia. Karena itu Sumpah Pemuda jangan dibuat main-main.
Demikian pendapat beberapa elemen bangsa Indonesia, seperti Dedi Gumelar, Sekretaris ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) Sumatera Barat Najmuddin, Ketua PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Shoim Misbach Haris, dan Ketua Umum Pemuda Reformasi Indonesia (PRI) Bursah Zarnubi yang dihubungi Pelita, secara terpisah, Minggu (27/10).
Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 merupakan komitmen bangsa Indonesia yang jangan dibuat main-main. Karena dengan adanya Sumpah Pemuda itulah bangsa Indonesia tumbuh rasa persatuan dan kesatuan guna melepaskan diri dari belenggu penjajah.
"Itu merupakan komitmen bangsa. Jangan main-main," ucap Dedi Gumelar tegas, ketika dihubungi Pelita via telepon, Minggu (27/10) sore di Jakarta.
Tokoh yang lebih dikenal dengan nama Miing dalam Bagito Grup itu berpendapat, saat digulirkannya reformasi sekarang inilah spirit Sumpah Pemuda seharusnya ditumbuhkembangkan. Dengan demikian rasa kebangsaan, rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia kian kokoh dan kuat. Tapi kenyataan yang ada justru rasa persatuan dan kesatuan bangsa itu diporakporandakan dengan adanya reformasi.
Kita, ucap Dedi Gumelar, jangan bicara masalah ekonomi dan masalah-masalah lain, jika persatuan dan kesatuan bangsa ini tidak terjamin. Karena yang mencuat ke permukaan saat ini adalah keterkotak-kotakan dan lebih menomorsatukan kepentingan kelompok dan golongan.
Dia juga menunjuk para "pemuda" yang sekarang berkuasa yang merupakan generasi penerus bangsa, justru banyak yang melanggar sumpah. Akibatnya dari masalah-masalah yang bersifat mikro berefek ke masalah makro dan berimbas kemana-mana.
Dari situlah, kata Dedi, terlihat bangsa Indonesia tidak pernah belajar sejarah. Padahal bangsa yang besar adalah yang mempelajari sejarah bangsanya.
Berkait dengan masalah itu, Miing berpendapat sudah seharusnya Depdiknas mengubah kurikulum mata pelajaran di sekolah-sekolah, karena tidak mengajarkan bagaimana pentingnya sejarah bangsa bagi para pelajar. Sebab, sejarah dan kebudayaan bangsa itu sangat penting. Dia memberikan contoh negara-negara maju seperti Jepang dan Korea yang sangat menjunjung tinggi budaya dan sejarah bangsanya. Karena sesuatu bangsa tidak terlepas dari akar budaya bangsanya.
"Di sini terlihat jelas, jika seorang anak nilai matematika atau fisikanya jelek pasti orang tuanya marah. Tapi kalau nilai sejarahnya jelek, orang tuanya tidak marah. Ini yang harus diubah," katanya.
Wajib militer
Selain masalah kurikulum sejarah, secara serius, Dedi Gumelar juga menyarankan perlunya wajib militer diterapkan di Indonesia. "Wajib militer bukan berarti memiliterkan sipil," jelasnya. Tapi wajib militer itu demi memupuk jiwa patriotisme bangsa, menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air. Demikian juga Gerakan Pramuka di Indonesia seharusnya dimasukkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah, karena di situ merupakan langkah pembentukan karakter dan rasa kebangsaan bangsa Indonesia. "Spririt kebangsaan itu sangat penting," ujar Miing.
Tokoh pelawak Indonesia itu menyayangkan stasiun-stasiun siaran televisi yang jarang sekali menayangkan videoklip tentang "Satu Nusa Satu Bangsa" atau lagu "Indonesia Raya" dan "Rayuan Pulau Kelapa." Kalaupun ada, penayangan dilakukan pada saat siaran itu belum ditonton oleh generasi muda. "Masyarakat sangat butuh pendekatan melalui hatinya," ujarnya.
Menurut Miing, hal-hal seperti itulah yang seharusnya menjadi pemikiran oleh pemerintah.
Kepada Pelita, Miing juga menyatakan kekecewaannya terhadap kalangan generasi muda Indonesia yang terjun ke LSM-LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang pada praktiknya ada yang "menjual" negara. Untuk itu, dia berpendapat sudah saatnya jumlah LSM dibatasi dan dilakukan audit dari mana keuangan yang mereka terima.
Pegangan generasi muda
Makna Sumpah Pemuda tetap menjadikan pegangan para generasi muda Indonesia untuk mempertahankan Indonesia sebagai bangsa yang satu. Namun makna tersebut seakan-akan telah hilang dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Makna berbangsa yakni satu bangsa Indonesia, telah tidak ada lagi. Kini yang ada hanyalah sifat egoisme para elite politik," kata Sekretaris ICMI Sumatera Barat Najmuddin yang dihubungi Pelita via telepon, kemarin.
Menurut Najmuddin, Sumpah Pemuda akan tetap memiliki relevansi yang sangat besar dalam kondisi bangsa Indonesia saat ini. Tetapi permasalahan yang terjadi saat ini kurang adanya implementasi dari butir-butir Sumpah Pemuda oleh generasi muda maupun pemerintah. Pemuda Indonesia harus mempunyai visi yang jelas kedepan untuk menyiapkan regenerasi bangsa Indonesia yang akan datang. Pemuda harus meningkatkan kualitas mereka, walaupun seluruh bangsa Indonesia merisaukan rendahnya rasa kebangsaan saat ini.
Menanggapi makna Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang cenderung memudar di dalam diri masyarakat Indonesia, khususnya kalangan pemuda dan pemerintah, dosen Universitas Andalas itu menjelaskan, hal itu terjadi akibat dari ketidakmampuan pemerintah untuk menciptakan formula reformasi yang tengah berjalan. Pemerintah dan pemuda harus mempunyai visi politik yang jelas sebagai bangsa yang bersatu dan berdaulat. Mereka jangan bertindak acuh tak acuh terhadap permasalahan yang terjadi pada Indonesia.
Dari sisi sosial dan ekonomi, tambah dia, pemerintahan saat ini tidak mempunyai formula dan rancangan yang jelas untuk 10 tahun ke depan dalam menciptakan masyarakat Indonesia yang sejahtera.
Fenomena saat ini jelas terlihat pemerintah sibuk oleh hal-hal yang membuat sesuatu tidak produktif. Dari sisi politik juga terlihat gambaran politik antagonis, yang selalu mempertahankan ego. Mereka tidak menciptakan suatu kondisi politik negara yang integratif untuk menyatukan bangsa dan menjadikan bangsa Indonesia mempunyai arah dan tujuan yang jelas di masa yang akan datang.
Sementara Ketua HMI Shoim Misbach Haris yang dihubungi terpisah mengatakan refleksi Sumpah Pemuda sering menjadi hal yang klise bagi generasi muda maupun pemerintah saat ini. Esensi Sumpah Pemuda tentang adanya persatuan, keseragaman, maupun proses menyatu telah menjadi suatu perubahan dan menciptakan konflik vertikal dan horisontal antarrakyat Indonesia.
"Makna Sumpah Pemuda seakan menjadi kegiatan ritual yang tidak memiliki arti apa-apa dalam berbangsa. Padahal kesadaran yang digali dalam Sumpah Pemuda itu memiliki kesadaran kesatuan, keragaman atas etnis, agama, warna kulit, bangsa Indonesia yang sangat luas," paparnya.
Menurut dia, disaat penjajahan melawan Belanda telah usai, maka makna tersebut bertujuan untuk pemerataan seluruh rakyat Indonesia atas kesejahteraan mereka.
"Tapi, sering acara seremonial yang diulang setiap tahun menjadi basi. Karena kondisi kehidupan rakyat Indonesia penuh dengan kesenjangan sosial, bahkan rakyat kecil semakin terpinggirkan," jelasnya. Oleh karena itu agar Sumpah Pemuda menjadi bermakna, maka harus ada generasi muda yang baru yang bebas dari masalah-masalah sosial bangsa Indonesia. Selain itu strategi sosial budaya yang berbasis kesejahteraan rakyat. "Bahkan jika perlu dibuat suatu Sumpah Pemuda yang baru oleh generasi baru," tegasnya.
Komitmen pemuda tetap kuat
Komitmen Pemuda Indonesia masa kini tetap terhadap sumpah yang sudah diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928, "Kami Bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia; berbangsa satu bangsa Indonesia; dan ber-Tanah Air satu Tanah Air Indonesia."
"Komitmen kami tetap pada sumpah itu, kendati saat ini bangsa Indonesia nyaris tidak satu kata dan satu visi lagi menghadapi berbagai persoalan bangsa," ujar aktivis Humanika yang kini Ketua Umum Pemuda Reformasi Indonesia (PRI), Bursah Zarnubi kepada Pelita di Jakarta, kemarin.
Dia menegaskan, pemuda sebagai generasi penerus harus diberi ruang yang cukup untuk memberikan kontribusi pemikiran dan tenaga, khususnya dalam memecahkan persoalan yang sedang dihadapi. "Pemuda harus ditempatkan pada posisi strategis untuk membangun bangsa ini ke depan," tegasnya.
Pemuda Indonesia, menurut aktivis HMI ini harus ambil peran, dan bahkan peran itu harus direbut dari generasi di atasnya yang memang sudah tak mampu mengatasi krisis, kemiskinan, ketenaga kerjaan, persatuan dan kesatuan, serta terakhir persoalan yang maha besar, bom dan terorisme.
Pada masa lalu, ujarnya, kemerdekaan fisik negara ini sangat ditentukan peran generasi muda. Setelah kemerdekaan, peran itu dipancung sedikit hingga akhirnya pemuda hanya menjadi underbow kekuatan politik tertentu. Pemuda hanya menjadi pelengkap dan mandul.
Sebagai akibatnya, kekuasaan, ekonomi, politik dan berbagai aspek lainnya hanya dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat, yang kemudian melahirkan gap dan ketiadakadilan antara mayoritas masyarakat tidak mendapatkan apa-apa dari hasil pembangunan. Kondisi itu kemudian mengikis nasionalisme bangsa ini.
"Erosi nasionalisme yang saat ini kita saksikan bukanlah hal yang baru. Tetapi sudah terjadi sejak tahun 80-an, sejak strategi pembangunan nasional diarahkan pada ekonomi pertumbuhan, yang hanya dirasakan oleh sekolompok kecil masyarakat," ujarnya. Puncak dari erosi nasionalisme itu terjadi pada perubahan kepemimpinan nasional, saat tumbangnya orde baru. Berbagai daerah minta merdeka, pertempuran sesama warga terjadi dimana-mana, ekonomi hancur, persatuan dan kesatuan terancam dan akhirnya intervensi asing menjadi dominan dalam kehidupan bangsa dan negara.
Celakanya lagi, ujar putra Betawi ini pemimpin bangsa saat ini tidak belajar dari sejarah masa lalu yang membawa derita bagi rakyat saat ini. Mestinya, asas keadilan ekonomi dalam pembangunan yang merupakan dasar kokohnya nasionalisme itu, harus diterapkan. Begitu juga dalam politik, pemerintah harus menujukkan visi yang kuat dan persepsi yang sama.
"Pemuda belum menyaksikan itu pada pemerintahan saat ini. Tetapi sebaliknya, pemuda melihat adanya ketidakjelasan visi dan persepsi dalam tubuh pemerintahan. Bahkan terjadi 'perang' di dalam kabinet dalam memahami dan menanggapi persoalan bom dan terotisme," tegas Bursah.
Melihat kondisi pemimpin nasional dan kondisi bangsa yang sangat rentan perpecahan serta makin besarnya intervensi asing, komitmen pemuda Indonesia semakin kuat untuk mengimplementasikan Sumpah Pemuda 28 Oktober itu, dengan secara intensif dan terus menerus memberikan kontribusi pemikiran politik, ekonomi dan berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Dalam waktu dua bulan ini kami akan melakukan kosolidasi untuk kemudian mengajak seluruh pemuda Indonesia memadukan tekad, menyatukan visi dan membulatkan perjuangan mewujudkan masa depan Indonesia yang dicita-citakan," ungkap Ketua Umum PRI itu.
Kepada pemerintah, elit politik dan pemimpin bangsa dia berharap bisa menjadi fasilitator dalam setiap rencana besar pemuda Indonesia. Umpamanya memberikan proses kemudahan dalam membuat sebuah pertemuan akbar pemuda untuk menginventarisasi persoalan-persoalan bangsa yang sulit dipecahkan dan kemudian mencarikan solusinya.
"Pemuda Indonesia harus mendobrak situasi bangsa melalui sebuah pertemuan besar, rembug nasional untuk menyiasati krisis yang semakin parah. Selain itu juga mengiventarisasi diimensi-dimensi kepepemimpinan dengan memberikan opsi untuk dapat menyelesaikan intervensi asing. Pertemuan itu juga akan bisa memperkuat kembali rasa keadilan dan nasionalisme dalam konteks kebangsaan," ujarnya.(be/m13/kh)(dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=2869)
No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk postingan saya